Profil Kota Tangerang
SEJARAH TERBENTUKNYA KOTA TANGERANG
Daerah muara sungai Cisadane yang sekarang diberi nama Teluk Naga
disebutkan dalam kitab sejarah Sunda yang berjudul “Tina Layang
Parahyang“ (Catatan dari Parahyangan). Kitab tersebut memuat cerita
tentang kedatangan orang Tionghoa untuk pertama kali ke Tangerang pada
tahun 1407. Pada waktu itu pusat pemerintahan berada di sekitar pusat
Kota Tangerang saat ini. Kepala pemerintahan saat itu adalah Sanghyang
Anggalarang selaku wakil dari Sanghyang Banyak Citra dari Kerajaan
Parahyangan. Rombongan orang Tionghoa tersebut kemudian diberi sebidang
tanah di pantai Utara Jawa, sebelah Timur Sungai Cisadane, yang sekarang
disebut Kampung Teluk Naga.
Gelombang kedua kedatangan orang Tionghoa ke Tangerang diperkirakan
terjadi setelah peristiwa pembantaian orang Tionghoa di Batavia tahun
1740. VOC yang berhasil memadamkan pemberontakan tersebut mengirimkan
orang-orang Tionghoa ke daerah Tangerang untuk bertani. Belanda
mendirikan pemukiman bagi orang Tionghoa berupa pondok-pondok yang
sampai sekarang masih dikenal dengan nama Pondok Cabe, Pondok Jagung,
Pondok Aren, dan sebagainya. Di sekitar Tegal Pasir (Kali Pasir) Belanda
mendirikan perkampungan Tionghoa yang dikenal dengan nama Petak
Sembilan. Perkampungan ini kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan
dan telah menjadi bagian dari Kota Tangerang. Daerah ini terletak di
sebelah Timur Sungai Cisadane, daerah Pasar Lama sekarang.
Kota Tangerang yang memiliki luas wilayah 17.729,794 hektar dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1993 tentang Pembentukan Kota
Tangerang. Sebelumnya Kota Tangerang merupakan bagian dari wilayah
Kabupaten Tangerang dengan status wilayah Kota Administratif Tangerang
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1981.
KEADAAN PENDUDUK
Secara administratif, luas Kota Tangerang sekitar 18.378 Ha (termasuk
Kawasan Bandara International Soekarno Hatta 1.969 Ha), merupakan
wilayah dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 30 m dpl. Terbagi
menjadi 13 Kecamatan, 104 Kelurahan yang terdiri dari 931 RW dan 4.587
RT. Jumlah penduduk berdasarkan sensus BPS Provinsi Banten tahun 2010
sebanyak 1.798.601 Jiwa dengan pertumbuhan 1,81 %. Sebelah Utara,
Selatan dan Barat Kota Tangerang berbatasan dengan Kabupaten Tangerang
dan di wilayah timur berbatasan dengan DKI Jakarta.
SOSIAL BUDAYA
Kota Tangerang sebagai kota heterogen dimana keragaman agama dan
budaya hadir ditengah-tengah masyarakat kota Tangerang. Dengan adanya
perbedaan ini diharapkan dapat menjadi kekuatan untuk mewujudkan
masyarakat Kota Tangerang yang bersatu dibawah bingkai akhlakul karimah.
Masyarakat Kota Tangerang secara umum bersuku betawi meskipun ada
juga sunda dan cina benteng. Keberadaan masyarakat China di Tangerang
dan Batavia sudah ada setidak-tidaknya sejak 1407 NI. Dimulai sejak
mendaratnya rombongan pertama dari dataran Cina yang dipimpin Tjen Tjie
Lung alias Halung di muara Sungai Cisadane, yang sekarang berubah nama
menjadi Teluk Naga. Sejak diakuinya etnis tiong hoa, kebudayaan
masyarakat cina benteng Barong Sai menjadi kebudayaan masyarakat Kota
Tangerang. Selain itu, budaya pagelaran pada festival cisadane juga
sebagai bagian dari kultur yang tak terpisahkan dengan masyarakat Kota
Tangerang.
POTENSI PARIWISATA
Keragaman potensi pariwisata di Kota Tangerang bermacam-macam
jenisnya, diantaranya wisata kuliner, wisata budaya, wisata alam dan
lain-lain. Kota Tangerang terkenal dengan wisata budaya betawi Barong
Sai, yang selalu menjadi pertunjukan warga pada moment-moment khusus.
Selain itu, wisata alam terlihat di kawasan Cipondoh, yaitu situ
cipondoh yang ramai dikunjungi oleh masyarakat Kota Tangerang maupun di
luar Kota Tangerang.
Kala hari libur, potensi wisata yang juga ramai dikunjungi adalah
tempat rekreasi olahraga taman golf. Kota Tangerang memiliki banyak
tempat wisata olahraga, seperti modern golf, tirta golf, dan lain-lain.
Wisata religi juga ditemukan pada kemegahan Masjid Al’Adzhom Dibangun
di atas tanah seluas 2,25 hektar dengan luas bangunan 5.775 m2 terdiri
dari lantai bawah 4.845,08 m2 dan lantai atas 909,92 m2 berkapasitas
15.000 jamaah, dirancang oleh Ir. Slamet Wirasonjaya menelan biaya
sebesar Rp. 28,3 Milyar. Masjid ini dapat berfungsi sebagai tempat
Sholat Wajib, Sholat Sunah, Sholat Jum’at dan Sholat Ied juga sebagai
pusat penyiaran pengkajian dan informasi Agama Islam dengan majelis
ta’lim dan kegiatan kuliah subuh serta pusat kegiatan sosial umat Islam.
Selain masjid Al Adzhom juga terdapat Masjid Kalipasir Dibangun oleh
Tumenggung Pamitwidjaya dari Kuripan (11 Agustus) Tahun 1904 :
Diurus dan diperbaiki serta dibangun menara oleh RD Jasin Judanegara
Putra dari Nyi. RD. Djamrut keturunan dari Tumenggung Pamitwidjaya
dari Kuripan. Tahun 1918 : Diubah bagian dalamnya oleh RD. Jasin
Judanegara, M. Muhibi. H. Abdul Kadir Banjar dan Masjid merupakan
Masjid tertua di Kota Tangerang.
Kemudian, Masjid Pintu Seribu “Nurul Yaqin”,
terletak di Kampung Bayur, Kelurahan Periuk Jaya, Kecamatan Periuk, Kota
Tangerang. Merupakan Masjid yang mempunyai keunikan tersendiri, yaitu
dengan memiliki seribu pintu.
Bendungan Pintu Air
Sepuluh juga tempat wisata di Kota Tangerang.
Bendungan ini dibangun tahun 1928 dan mulai dioperasikan tahun 1932 di
masa penjajahan Belanda. Bendungan tersebut mampu mengairi kurang lebih
1.500 Ha sawah yang berada di daerah Kota dan Kabupaten Tangerang.
Bendungan ini lebih dikenal dengan sebutan “Bendungan Pintu Air Sepuluh ”
atau “Sangego”.
Kebudayaan Kota Tangerang
Tari Lenggang Cisadane
Tari Lenggang Cisadane sendiri
merupakan perpaduan unsur budaya yang ada di Kota Tangerang seperti
budaya Sunda, Jawa, Betawi, Cina, Arab dan budaya Lainnya. Selain alat
musik gamelan, didalamnya juga terdapat alat musik yang digunakan pada
musik marawis, lengkap dengan lagu-lagu marawisnya. Tari Lenggang
Cisadane ini merupakan proses pembentukan harmonisasi musik, tata busana
dan gerak yang dipadukan menjadi suatu tarian yang indah dan mencirikan
budaya Kota Tangerang. Tarian ini dibawakan 13 orang yang mencirikan
jumlah kecamatan di Kota Tangerang. Seniman dan budayawan kota Tangerang
ini menghasilkan sebuah seni tradisional khas Kota Tangerang dengan
memadukan unsur musik, kostum dan tarian.
Gambang Kromong
Gambang kromong (atau ditulis gambang
keromong) adalah sejenis orkes yang memadukan gamelan dengan alat-alat
musik Tionghoa, seperti sukong, tehyan dan kongahyan. Disebut Gambang
Kromong karena diadopsi dari nama dua buah alat perkusi yaitu gambang
dan kromong. Awal mula terbentuknya orkes gambang kromong tidak lepas
dari prakarsa seorang pemimpin komunitas Tionghoa yang diangkat Belanda
(kapitan Cina) bernama Nie Hoe Kong pada masa jabatan 1736-1740. Bilahan
gambang yang berjumlah 18 buah, biasa terbuat dari kayu suangking, huru
batu, manggarawan atau kayu jenis lain yang empuk bunyinya bila
dipukul. Kromong biasanya dibuat dari perunggu atau besi, berjumlah 10
buah (sepuluh pencon). Tangga nada yang digunakan dalam gambang kromong
adalah tangga nada pentatonik Cina yang sering disebut salendro Cina
atau salendro mandalungan. Instrumen pada gambang kromong terdiri atas
gambang, kromong, gong, gendang, suling, kecrek dan sukong, tehyan atau
kongahyan sebagai pembawa melodi.
Lenong
Lenong
adalah kesenian teater tradisional atau sandiwara rakyat Betawi yang
dibawakan dalam dialek Betawi yang berasal dari Jakarta, Indonesia.
Kesenian tradisional ini diiringi musik gambang kromong dengan alat-alat
musik seperti gambang, kromong, gong, kendang, kempor, suling dan
kecrekan, serta alat musik unsur Tionghoa seperti tehyan, kongahyang dan
sukong. Lakon atauskenario lenong umumnya mengandung pesan moral, yaitu
menolong yang lemah, membenci kerakusan dan perbuatan tercela. Bahasa
yang digunakan dalam lenong adalah bahasa Melayu (atau kini bahasa
Indonesia) dialek Betawi. Lenong berkembang sejak akhir abad ke-19 atau
awal abad ke-20. Kesenian teatrikal tersebut mungkin merupakan adaptasi
oleh masyarakat Betawi ataskesenian serupa seperti komedi bangsawan dan
teater stambul yang sudah ada saat itu. Selain itu, Firman Muntaco,
seniman Betawi, menyebutkan bahwa lenong berkembang dari proses
teaterisasi musik gambang kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal
sejak tahun 1920-an.
Barongsai
Kesenian
yang berkembang di Kota Tangerang, terdiri dari beberapa jenis antara
lain Kilin, Peking Say, Lang Say, Samujie. Kesenian yang menampilkan
Singa Batu model dari Cieh Say ini ada bermacam macam, dimana yang utama
mengikuti dua aliran, yaitu Aliran Utara dan Selatan yang dimaksud
adalah sebelah Utara Sungai Yang Zi, bentuknya garang, badannya tetap,
mulutnya persegi seperti yang kita lihat di kelompok Istana Kekaisaran
di Beijing, sedangkan aliran selatan adalah terdapat di sebelah Selatan
Sungai Yang Zi, bentuknya lebih bervariasi, lebih luwes, tapi kurang
gagah. Aliran Selatan, pada umumnya berada di kelenteng-kelenteng
Indonesia, khususnya di Kota Tangerang, termasuk bentuk singa ini, sama
sekali tidak mirip dengan wujud singa sebenarnya, tetapi diambil dari
Anjing Say yang pada waktu itu dipelihara Kaisar dan hanya di Istana
saja, karena dianggap suci.
Makanan Khas Kota Tangerang
Sayur Besan
Sayur Besan adalah makanan khas
Tangerang yang selalu dihidangkan pada saat orang tua mempelai laki-laki
datang ke rumah orang tua mempelai wanita, pada acara perkawinan
(ngabesan), sehingga sayur ini dinamakan Sayur Besan.
Laksa
Laksa Kota Tangerang telah berkembang sejak ratusan tahun lalu dan
rasanya sampai saat ini belum ada yang membukukan sejarah lahirnya laksa
di kota terdepan Propinsi Banten ini.
Laksa di tahun 1970 -an dijajakan banyak pedagang keliling di Kota
Tangerang, dengan teriakan, “laksa… laksa…” oleh pedagang yang keliling
kampung. Namun siring perkembangan zaman, laksa mulai tergeser jenis
makanan lain yang cepat dimasak, cepat dijual, dan mungkin lebih murah.
Sehingga 20 tahun lalu makanan laksa agak menghilang.
Namun tahun 2000, makanan ini kembali muncul di banyak tempat, apalagi
keberadaan mereka pun ternyata mendapat tempat di hati banyak masyarakat
dan didukung Pemkot Tangerang. Kini pedagang laksa secara permanen
dapat ditemui berjajar di Jl. Muhammad Yamin, depan LP Wanita Kota
Tangerang. Bahkan tak sedikit pula yang berkeliling kampung.